Friday, February 26, 2016

tahun monyet bersama orangutan

Dalam rangka menunaikan #CiciNgeblog2016, kali ini gue akan bercerita tentang liburan pertama gue di tahun 2016 yaitu, drum roll please, Tanjung Puting!

Komentar orang-orang saat mendengar gue mau ke Tanjung Puting adalah:
Dimana tuh?
Ada apaan disana?
wakaka puting -> komentar khas anak baru puber
iih ko namanya gitu -> komentar khas anak (sok) innocent
Cici mah jalan-jalan mulu -> komentar khas si mz

Untuk memberi gambaran, Tanjung Puting adalah taman nasional di Kalimantan Tengah, lokasi untuk penelitian dan konservasi orang utan. Walau berstatus taman nasional, tapi kita bisa mendatangi dan melihat langsung gimana si orang utan ini di alam liar. Serunya lagi, cara pergi ke taman nasional ini adalah dengan menyusuri sungai menggunakan kapal klotok (kapal kayu yang berbunyi tok tok tok). Nah bayangin berlayar di sungai, membelah hutan, bersatu dengan alam liar. Seru kan?

Sebenernya Tanjung Puting ini sudah masuk bucket list gue sejak tahun 2011, tapi namanya juga wacana ya baru terwujud bertahun-tahun kemudian. Kebetulan baru-baru ini ada momen dimana gue mau menyepi untuk mikirin satu dan lain hal (ceileh). Tadinya gue mau ke Tanjung Puting saat liburan Natal, tapi ko serem juga ya masuk hutan pas cuaca hujan terus. Jadilah gue berangkat saat long weekend Imlek, tanggal 6-8 Februari lalu. Wooh pas banget kan menyambut tahun monyet api dengan melihat monyet merah! 

Karena gue ngga mau repot nyiapin ini itu, gue akhirnya ikut open trip ini. Menyenangkan lah komunikasi sama mereka, sigap dan informatif. Harga turnya juga menurut gue ngga mahal-mahal amat, all in IDR1,95 juta di luar tiket PP. Untuk menuju Tanjung Puting, bandara terdekat ada di kota Pangkalan Bun. Harga tiket pesawat PP Jakarta - Pangkalan Bun ngga mahal-mahal amat: sekitar 1,5 juta. Biaya total liburan jadi sekitar 3.5juta++.

Sebelum berangkat, gue gugling sana sini dong tentang Tanjung Puting. Ada beberapa orang yang menyarankan untuk minum obat pencegah malaria. Sebenarnya di sana bukan daerah endemik, tapi mending gue jaga-jaga ya kan. Datanglah gue ke klinik kantor minta obat malaria ke dokter. Tau ngga si dokter ini bilang apa "wah sebenernya kalo pergi-pergi gitu Bismillah aja mba". 

Hmm. Oke.

Untunglah gue dikasih obat juga. Jadi setelah gue mendapat obat, dan setelah gue mengucap Bismillah, akhirnya tanggal Sabtu pagi tanggal 6 Februari gue berangkat. Setelah didahului dengan drama di airport (yang setelah dipikir-pikir FTV worthy), terbanglah gue dengan Trigana Air menuju Pangkalan Bun. Ini pertama kali gue naik Trigana, tadinya gue underestimate "hanjir jangan-jangan pesawat baling-baling. dikasi makan ngga ya. semoga ada pramugari". Tapi ternyata pesawatnya gede, dikasi kue kotakan (huhu aku terharu), dan ada banyak kru. Maafkan aku Tri! Dan tadinya gue juga underestimate bandara di Pangkalan Bun "hm mungkin sekecil bandara di Belitung atau Malang yang lama". Ternyata bangunan bandara Iskandar (ini nama bandaranya) lebih gede dong. Maafkan aku Dar!

selamat datang di Pangkalan Bun
Sesampainya di bandara, gue dijemput oleh bang Zulham sebagai guide. Total peserta open trip gue termasuk guide ada 7 orang, woohoo hamdallah ga rame-rame amat. Dari bandara, kami naik taksi ke Kumai, lokasi pelabuhan klotok mulai berlayar. Fun fact: taksi bandara Pangkalan Bun hanya mau mengangkut max 3 orang penumpang, aturan yang bahkan lebih ketat dari taksi ibukota dan bajaj! Bandara ke Kumai ngga begitu jauh, hanya 20 menit naik taksi. Selama di jalan, feel kota Pangkalan Bun ini mirip-mirip Belitung. Rumah-rumah tepat di pinggir jalan, jalan yang kecil, tenang, dan sepi. Dan surprisingly, ada mall! More on this town later... Tentang pelabuhan, pelabuhan Kumai terletak di muara sungai, dan sungainya lebaaaar banget. Ini fotonya:
humble port

ini dia kapal klotok

Naik ke klotok pun perlu perjuangan, karena harus loncat dari klotok ke klotok. Hamdallah masih civil, tidak sebarbar di Muara Angke. Kru kapal klotok gue ada 4,5 orang: juru kemudi, juru masak (plus bocah anak juru masak yang gue hitung setengah), dan 2 juru teknis. Fix sih tenang terjamin segalanya di kapal. Setelah semua orang safely aboard, mulailah kami berlayar. Diawali dengan dengan pemandangan kota Pangkalan Bun, kemudian bertemu dengan patung orangutan "SELAMAT DATANG DI TANJUNG PUTING" di persimpangan sungai, memasuki sungai Sekonyer, lalu seketika pemandangan berganti menjadi rimbunan pohon nipah.
pemetik daun nipah
Angin sepoi, udara terik, plus kenyang abis makan siang di kapal bikin gue sempat ketiduran di perjalanan. Oh ya, mengenai makanan, menunya oke banget cuuy: 4 sehat 5 sempurna! Bahkan menurut gue rasanya lebih oke dari kebanyakan restoran di daerah wisata. Mana porsinya melimpah ruah. Plus endless supply of Aqua dingin (tepatnya Naida, merk lokal di sana). Sekali lagi, terjamin!
nyemmm

Setelah hampir 3 jam berlayar, kapal tiba di Tanjung Harapan. Di Tanjung Harapan ada feeding station, yaitu tempat memberi makan orang utan liar, dengan jadwal feeding sekitar jam 3 sore.  Gue lupa ini buat orang utan yang beneran liar atau setengah liar. Dari dermaga ke feeding station, gue harus trekking sekitar 20 menit. Walau udah jam 3 sore, itu matahari masih terik banget ya. Gue jadi basah keringetan. Walau di dalam hutan pun yang matahari ngga langsung ke kepala, udara yang lembab makin bikin BASAH. Note to self: kalo masuk hutan pake JANGAN pake celana jeans dan baju yang ngepas banget di badan. 

Sesampainya di feeding station, bahkan gue belum sampai ke platform tempat pemberian makan, gue udah melihat orang utan. Dekat banget di depan mata gue sendiri, casually mondar-mandir dan makan aja gitu walau dikerumuni manusia.
my very first wild orangutan experience
Kata bang Zulham, biasanya orang utan hidup berkelompok dengan satu jantan dominan. Nah si jantan dominan ini selalu menguasai feeding station, pasti dia duluan yang pertama makan, sementara anggota kelompok yang masi cere (apalagi kalo jantan muda) cuma bisa gelantungan di pepohonan ngeliatin dengan penuh harap. Ibaratnya kalo gue lagi high level meeting, yang makan duluan G8 gitu, G3 mah ga makan juga dibiarin aja (yha). Kadang si dominan baik hati, ada orangutan betina gendong anak diijinin makan bareng. Semacam busway kali ya, beri prioritas bagi ibu membawa anak. Para gelantungan-menonton-penuh-harap juga terkadang memberanikan diri mengambil sisa makanan yang terjatuh (ini kasihan), atau mengendap ngambil makanan satu-satu waktu si dominan ngga lihat (terus kalo ketauan langsung ngibrit persis Srimulat). Kalo ketauan gawat, bisa-bisa digeplak si dominan. Kalau si dominan udah kenyang dan pergi, baru deh mereka bisa ngambil sisa-sisa makanan di platform. Huft keras ya kehidupan mereka.
perlahan mulai menggapai makanan sembari berharap tidak ketahuan
Kurang lebih sejam menonton orangutan makan, gue pun kembali ke kapal. Kapal kembali menyusuri sungai, kali ini dengan tujuan mencari bekantan. Tau bekantan kan? Itu loh monyet belanda, yang hidungnya panjang itu. Di pinggir sungai, kadang kapal ketemu pohon yang didiami sekelompok bekantan. Seru loh para bekantan ini, lincah loncat dari dahan ke dahan, bahkan dari pohon ke pohon. Ada kali puluhan bekantan di satu pohon. Watching them is a quite awe moment, you know I got that National Geographic realness. 
pak bu bekantan
Pengamatan berhenti saat hujan sore mulai turun. Ngga usah khawatir kena hujan, karena kru kapal dengan sigap menurunkan terpal untuk menutup kapal. Gue masih bisa menonton hujan, dan di momen ini gue merasa sangat damai. Suara hujan dan klotok, titik air hujan jatuh ke sungai, bulir air di semak pinggiran sungai, dan semilir angin dingin. Sempurna. Apalagi setelah hujan berhenti, senja dengan langit kemerahan dan  pelangi. Makin sempurna.
best time of the day

alangkah indahmu
Kapal akhirnya kembali ke Tanjung Harapan. Sehabis makan malam, gue diajak night trekking. Excited banget rasanyaaa terakhir masuk hutan malam-malam tuh waktu pelantikan himpunan bertahun-tahun lampau. Selama trekking kurang lebih sejam, gue ngga banyak menemukan apapun. Gue cuma melihat jamur glow in the dark (kece banget ini), seekor kunang-kunang, dan sarang kalajengking (itupun ekornya saja yang tampak). Mungkin lagi ngga hoki, ngga ketemu dengan tarsius. Ngga apa, bisa trekking malam-malam aja udah menyenangkan. 

Balik kapal, dek atas kapal tetiba udah diubah menjadi deretan tempat tidur berkelambu. Nah tadinya kapal mau bersandar semalaman di Tanjung Harapan, tapi berhubung ada kapal dengan rombongan "kemesraan ini janganlah cepat berlalu" (tau kan tipikal rombongan gede yang kerjanya ketawa-ketiwi nyanyi-nyanyi penuh solidaritas dan keakraban), diputuskan kapal akan menyusuri sungai mencari tempat yang lebih sepi untuk menginap. Kurang lebih sejam berlayar, sampailah di suatu tempat antah berantah. Sepi dan gelap, ngga ada suara dan cahaya kecuali dari kapal. Bintang terlihat bertebaran walau langit berawan. Malam yang baik untuk mengakhiri hari yang menyenangkan.

Sabtu paginya sekitar jam 08.00, kapal kembali menyusuri sungai menuju Camp Pondok Tanggui. Gue trekking ke feeding station lagi sekitar 10 menit, namun kali ini ga di hutan tapi melewati pepohonan pakis. Gue sampai di feeding station tepat sebelum feeding dimulai. Si dominan udah berkeliaran di platform, sementara orangutan level g3 (ini sebutan gue aja) bergelantungan penuh harap di pepohonan sekitar. Saat ranger datang dan ngasi makanan, party dimulai. Nonton mereka makan, gue jadi pengen belajar cara makan rambutan dengan cepat dan sigap.

mejeng dulu


pak bos dan ibu
kerumunan warga sekitar
Jumlah orangutan di Pondok Tanggui lebih banyak dari di Tanjung Harapan, bahkan bisa mengamati dengan lebih dekat. Yang seru adalah saat ada orang utan yang lagi gelantungan di pohon di atas gue dan penonton lain, dan tetiba dia pup. Pupnya jatuh aja gitu, untung ngga kena siapa-siapa. Penonton seketika bubar, kecuali beberapa turis asing yang entah kenapa memfoto pup tersebut. Iya pup yang difoto. Iya jangan tanya gue kenapa.

Kami nonton feeding selama sejam, lalu balik lagi ke kapal untuk menuju Camp Leakey. Sungai makin menyempit, dan warna sungai yang tadinya coklat keruh perlahan-lahan berubah menjadi hitam. Walaupun hitam tapi sebenarnya bersih, karena hitamnya hanya karena rendaman dedaunan dan akar.
into the wild

look at the river color!

obligatory "di ujung perahu" pic
Setelah perjalanan selama kurang lebih dua jam, kapal sampai di Camp Leakey. Ibaratnya Camp Leakey ini terminal Kampung Rambutan, karena banyak banget klotok yang berlabuh di sana. Kapal gue yang datang awal aja sampai ngga bisa bersandar tepat di dermaga. Jadi Camp Leakey ini adalah tujuan utama dari segala tujuan (halah), karena trip yang cuma sehari pun cuma ke Camp Leakey. Jadi selain klotok gue dan wisatawan leyeh-leyeh (I mean yang ikut trip berhari-hari) yang isinya paling banter belasan orang, ada klotok yang isinya sampai puluhan (!!!) orang, mulai dari anak kecil sampai kakek nenek, lengkap dengan kardus popmie, nasi kotak, tiker, serta full music dengan speaker all about that bass much treble. Ramai!
dermaga Camp Leakey
Dan ngga heran kalo Camp Leakey menjadi tujuan utama dari segala tujuan, karena baru beberapa langkah dari dermaga aja gue udah langsung ketemu orangutan. Dari dermaga ke hutan kan harus melewati jalan kayu, dan mereka casually mejeng aja gitu di tengah jalan, di tengah kerumunan orang. Hamdallah aman karena ada ranger yang selalu mendampingi.
bobo chantique

senyum "ini aman kan? ga galak kan??"

senyum "selamat datang di Camp Leakey"
Di Camp Leakey, ada museum sederhana yang menggambarkan awal mula berdirinya camp dan tentang kehidupan orangutan. Yang menarik sih ada dinding yang isinya silsilah orangutan. Hebat juga para ranger dan peneliti ini, bisa hapal nama orangutan yang menurut gue bentuknya sama semua. Dan gue salut akan kegigihan para conservasionists ini untuk melindungi orangutan dan lingkungan. I could learn a thing or two from them. Puas melihat-lihat ke museum, gue trekking ke feeding station melewati rute yang ngga umum, jadi muter masuk hutan selama kurang lebih sejam. Menyenangkan loh, karena sepi dan bisa ketemu up close and personal (halah) dengan orangutan.
khas jejak petualang

mayan lah ya bisa selfie
kamuh ngeliat apa?
Sampai di feeding station, gue terhenyak. Kaget. Pusing. Terperangah (oke ini lebay). RAME BANGET MANUSIA! Mana udara lembab, yaudalah makin aja gue basah keringetan. Men ini bahkan lebih basah daripada malam taun baru empet-empetan di bunderan HI. Dan karena gue datang lebih awal dari jadwal feeding, jadilah harus nunggu dulu di tengah kerumunan manusia. Saat feeding mulai pun, manusia-manusia ini (oke gue akui: termasuk gue juga) mulai berdesak-desakan untuk maju mendekat. Tapi yang makan cuma satu dua orangutan aja (plus babi rusa yang entah kenapa ikutan mejeng). Yang menarik paling waktu ada orangutan iseng jalan melewati kerumunan manusia, masuk ke feeding station. Kombinasi kepanasan, terlalu banyak orang, dan "yelah orangutan lain ga ada nih yang muncul?" bikin gue perlahan melipir. Seriously, jalan bagi gue di Camp Leakey justru yang paling menyenangkan adalah saat jalan di hutan, bukan saat nonton orangutan makan.
manusia
to give you the idea on how many manusia


Beres nonton, gue balik ke dermaga melewati rute yang berbeda dengan saat pergi (macam sholat ied aja). Terus tetiba hujan deras. Ini kaya dejavu pelantikan subsi, jalan sore di tengah hutan dan basah ngga jelas campuran keringat dan hujan. Bedanya, kali ini dijalani dengan perasaan senang (azek). Tiba di dermaga pun, ramainya udah lebih-lebih dari sebelum gue tinggal. Kalau tadi kaya terminal Kampung Rambutan, sekarang kaya terminal Kampung Rambutan di waktu mudik. Puyeng.

Tapi setelah loncat dari kapal ke kapal, akhirnya kapal gue pergi juga. Kembali menyusuri sungai, kali ini ke arah hilir. Justru di saat lagi berlayar sore ini gue bisa duduk dengan tenang menikmati alam sekitar (plus mikir tentunya, gue masih belum lupa tujuan gue menyepi!). Betapa manusia kecil di hadapan alam.

cruising
menuju senja
Saat malam, gue melihat banyak kunang-kunang di tepian sungai. Indah banget astagaaa, kerlap-kerlip berkerumun di pohon jadi kaya pohon natal. Seindah itu! Sayang ngga bisa lama mencari kunang-kunang karena hujan turun lagi. Kali ini lebih deras dan lebih lama, ada kali semalaman. Lumayan lah tidur diiringi suara hujan.

Hari ketiga, kapal udah ngga mampir-mampir lagi, kembali ke hilir menuju pelabuhan Kumai. Paling cuma mampir sebentar di patung selamat datang buat foto ala-ala.
goodbye Tanjung Puting!

Gue kira acara akan selesai setelah tiba di pelabuhan, ternyata masih diajak jalan-jalan keliling Pangkalan Bun. Ngga banyak sih, cuma ke tempat beli oleh-oleh, rumah adat, dan naik perahu menyusuri sungai yang membelah kota. Kota Pangkalan Bun sendiri ya begitulah, khas kota kecil yang ramai tapi tenang. These were nice surprises loh, gue ngga menyangka akan ada acara jalan-jalan. Rekomended banget lah trip ini!
di rumah adat
menyusui sungai
sekilas kota
Siang hari, kembali lah gue ke Jakarta, kali ini dengan pesawat Kalstar, membawa sejuta kenangan dan pengalaman (berlebihan). Tanjung Puting was such an amazing experience! Menurut gue, sekali seumur hidup harus lah orang harus coba kesini. Makhluk yang gue kira cuma lucu aja, ternyata punya peran sepenting itu di alam. Melihat orangutan sedekat, seliar, sekaligus serapuh (yes I really mean it okay) bikin gue merasa harus melakukan sesuatu. Tapi ya what can I do other than donating? And God bless all them conservationists! Semoga semua orang terketuk hatinya untuk melindungi si orangutan, dan teman-temannya sesama satwa liar.

Anyway, goodbye Tanjung Puting and thanks for the good time!



PS:
Anyway, katanya mau mikir selama di Tanjung Puting? Ohh tenang, selama disana gue udah mendapat beberapa ilham (asek). Satu yang gue bisa share adalah: my feeling is valid. Gue ngga perlu merasa malu atau dangkal simply for having it. It is what it is. Yang menentukan adalah gimana gue bersikap karena feeling tersebut. Begitulah..

1 comment:

Zulham Triansyah said...

Revisi dikit boleh ?...
Orangutan Jantan hidup nya soliter alias sendiri dia punya home range lebih kurang 5 km2 sedangkan yg betina lebih sosial mereka bisa hidup dlm kelompok kecil seperti 3 betina bisa hidup dlm 1 kelompok .. ambil gampang nya mereka punya kasta ( siapa yg kastanya tinggi dia bisa jadi yg dudulukan atau siapa yg terkuat dia yg berkuasa )