Saturday, May 21, 2016

the city of joy

Beberapa bulan lalu gue mengalami hal negatif, yang sangat berpengaruh ke pikiran gue. Ngga cuma pikiran, bahkan kesehatan gue juga ikut terpengaruh. Dan seperti biasa, di saat gue lagi down seperti itu, gue butuh escape. Kali ini bukan cuma sekedar jalan kaki keluar cari udara segar, gue butuh pengalaman baru di tempat yang jauh tapi masih familiar. Gue butuh pergi sendiri ke tempat yang ramai. Gue butuh distraksi, melakukan hal yang ngga gue lakukan sebelumnya. Dan kota mana lagi yang menawarkan kehangatan, ketenangan, dan petualangan sekaligus selain Jogja, even only for a weekend?

So yeah, dengan impulsif gue membeli tiket pesawat ke Jogja. Dengan impulsif gue booked resort yang mungkin ngga akan gue booked kalau gue lagi stres. Dengan impulsif gue booked mobil dan driver untuk mengantar gue kemana-mana selama di sana. Those were cost me an arm but well, a girl gotta do what a girl gotta do when she got stressed.

Trus di Jogja ngapain aja? Gue memutuskan untuk melakukan kegiatan fisik, yang bener-bener bikin capek di hari Sabtu. Dan hari Minggu, waktu gue untuk duduk manis dengan tenang. Nah begitu sampai di airport Jogja di Sabtu pagi, gue langsung bilang ke driver "cuss ke goa Jomblang!"

Gue ngga ngerti ya kenapa gue tetiba mau ke goa Jomblang. Di pikiran gue waktu itu cuma gue butuh kegiatan fisik yang ekstrim, biarin deh bayar 450ribu. 2 jam kemudian gue sampai di goa, on time untuk memulai aktivitas (dalam sehari cuma diperbolehkan 1 rombongan turun ke goa, maksimal 25 orang dan dimulai jam 10 pagi). Jadi goa Jomblang adalah goa yang cukup dalam: 60 meter! Dan untuk turun ke mulut goa, gue akan dikerek turun dengan tali temali dan katrol. Gue udah tau hal-hal tersebut sebelum gue datang ke sana, tapi ketika lubang goa dan tali temali itu ada di depan gue langsung, gue baru menyadari apa yang gue hadapi:
"oh dem ini gua dalam juga ternyata"
"hah 60 m is not something to mess around"
"oke gue menggantungkan nyawa ke tali ini"
"they're not gonna mess when lowering me right?"
"is it even safe?"
"what am I getting myself into sih?!"
that's me trying to stay cheerful and all
and that's me trying to compose my inner "what the hell am I doing sih??"
Tapi ya udah, kalau gue bisa mengatasi takut yang ini, apalagi sih yang ngga bisa gue lakukan. Pertama kali saat turun rasanya luar biasa deg-degan, tapi setelah beberapa detik, I strangely enjoy it. Ngga sampai semenit kali untuk turun. Begitu di bawah gue masih harus menunggu orang-orang lain untuk diturunin, dan habis itu masih harus jalan lagi 10 menit ke mulut goa. Turun, turun, dan turun. Begitu sampai di mulut goa, gue cuma bisa bilang "wow"
look at how big it is!
Nah gue pikir dari mulut goa ke cahaya surga (that's how they call it) akan jauh, jalan lama caving naik turun ala jejak petualang. Ternyata ngga jauh, deket banget malah. Dan jalannya mulus, ngga ada tuh naik turun kecebur lumpur. Tapi begitu sampai di dalam, cahaya yang jatuh ke dalam goa bisa bikin gue bilang "wow" untuk kedua kalinya
inside the cave
wanna be on top?
I was so very much in awestruck. The cave is supposed to be eternally dark, but look at those lights find their way inside, warm and illuminating. It's a metaphor turns into reality. And it hits me hard when I need it.

Di dalam goa cukup lama juga, mungkin ada 2 jam untuk eksplor dan untuk foto-foto. Setelah itu, gue kembali ke atas tetap dengan cara dikerek. Ngga semenakutkan saat turun sih, tapi tetap aja bikin deg-degan. Sekembalinya di atas, gue mandi dan makan siang (hamdallah makan siang udah include di harga semahal itu) dan langsung cabs ke tujuan berikutnya.

Tadinya gue pengen ke pantai Timang, tapi kaya hampir semua orang dari goa Jomblang akan ke pantai Timang, dan pantai di mana pun sama aja (bold statement considering gue anak pantai), jadi gue beralih ke Gunung Nglanggeran. Gue butuh tempat sepi, dan tempat ini kayanya akan sepi secara mungkin ngga banyak turis yang tau. Gue pun taunya dari temen kantor gue yang tantenya kerja di Dinas Wisata Jogja.

Konon gunung ini tadinya adalah gunung api purba, dan bentuknya memang kaya batu raksasa mencuat dari tanah. Buat mendaki ke puncak butuh waktu trekking sebentar, ngga sampai 2 jam lah. Medan pendakian pun ngga berat, udah relatif mulus. Udaranya juga ngga dingin. Sangat doable buat gue yang ngga pernah mendaki gunung (mendaki Bromo pake kuda ngga masuk itungan kan?). Bahkan gue yang pake baju main cantik pun bisa mendaki dengan bahagia (walau pake ngos-ngosan disana-sini).

Yang seru, selama mendaki gue melewati beberapa lorong batu sempit, persis kaya di film 127 hours. Gue jadi kaya semacam petualang ala-ala.
jalan masuk
batu yang casually nyangkut aja gitu (tapi tetap harus dilewati)
Yang ngeselin, di tengah pendakian tetiba maag gue kambuh. Gue sampai pengen menyerah sebelum ke puncak, as in "yodalah pemandangan di pos yang ini juga indah". Tapi lagi-lagi gue mikir, kalau gue bisa mencapai puncak, apalagi sih yang ngga bisa gue selesaikan. Even my then problem akan jadi ngga ada apa-apanya dibandingkan literal pain yang gue rasakan di perut. Jadilah gue maksain diri sampai ke puncak. Jadilah gue berdiri bego di puncak, memandangi bentangan alam yang sangat luas di hadapan gue. Seketika gue paham kenapa orang-orang kecanduan mendaki gunung (but still not that I'm interested on it).
chilling
admiring the view
Pulang dari Nglanggeran, gue langsung meluncur ke hotel Amata nun jauh di Magelang sana. Kenapa Magelang, karena Minggu subuh gue mau ke Borobudur melihat sunrise. Dulu gue pernah ke Punthuk Setumbu untuk nonton sunrise dan Borobudur sekaligus, dan apa yang gue dapat?
mana Borobudurnya?
IMO, Punthuk Setumbu is overrated. Bukan tempat untuk berdiri lama mengagumi sunrise, karena yaudah segitu doang. Jadi sekarang, gue mau nonton sunrise langsung di Borobudur.

Anyway, sesampainya di Amata Resort, gue langsung tidur. Eh ini hotelnya sangat recommended loh! Tiap tamu bukan dapet kamar, tapi dapat bungalow. Interior dan eksterior bungalownya juga cantik, mana gue dapat bungalow yang sebelahan sama sawah. Uhh perfect! 
bungalow
Enaknya lagi, Amata menyediakan transport antar jemput ke Borobudur gratis di jam sunrise itu. Jadilah Minggu sekitar jam 5 pagi, gue berangkat ke Borobudur. Akses ke Borobudur sunrise cuma bisa dari hotel Manohara, itu pun bayar kalo ngga salah 270ribu untuk turis domestik. Di sana gue daftar, dipinjamkan senter dan peta. Yep gue harus jalan sendiri ke Borobudur but not to worry karena walaupun gelap, banyak signage dan petugas.

Sampai di candi Borobudur, ternyata udah lumayan ramai. Spot duduk terbaik menghadap sunrise, yang ada stupa terbuka dengan kepala Buddha itu, bahkan udah penuh. Jadinya gue nyempil sana-sini, duduk menunggu matahari terbit. Walaupun ramai manusia, tapi suasana tenang, dengan latar suara chanting orang-orang yang lagi meditasi di stupa paling atas. It feels so peaceful actually. Gue pun menunggu dalam keheningan sampai akhirnya sinar kekuningan muncul dari horizon, dan yang ditunggu pun terbit.
syahdu
a new day has come
What can I say, nonton sunrise di Borobudur adalah pengalaman yang berkesan bagi gue. Walaupun gue di sana bener-bener sendirian, tapi menurut gue that's the essence of this trip. Saat sendiri, gue menjadi lebih peka dengan lingkungan sekitar gue, It heighten my sense in terms of appreciating every little beautiful thing around me. Is it what they call mindfulness?

Gue cukup lama duduk-duduk dan ngiter-ngiter di Borobudur sampai akhinya sekitar jam 7 gue balik lagi ke hotel Manohara, sarapan sebentar (ini sudah include di harga tiket), lalu dijemput balik lagi ke hotel. Di hotel pun gue sarapan (lagi), dan langsung cabut jalan kaki menuju candi Mendut. FYI, gue belum pernah ke candi Mendut. Awalnya gue agak kecewa karena candinya kecil, tapi setelah gue masuk, ternyata ada patung dan relief yang cukup impresif.
sitting Buddha
my fave relief: Hariti, guardian of children, symbol of fertility and good fortune
Mendut on a bright, sunny day
Balik lagi ke hotel, gue masih punya waktu untuk santai-santai sebelum dijemput driver gue jam 12. Sayang sih sebenarnya menginap cuma sehari di Amata, karena memang setenang dan sebagus itu, sangat sebanding lah dengan harganya.
see you Amata I'll be back for sure!
Setelah dijemput, gue balik lagi ke Jogja. Nothing much to do since I only got ittle time left before my flight back to Jakarta: makan Gelato di Tempo (enak sih tapi rame banget sama dedek-dedek), makan gudeg yu Jum di Wijilan (dari sekian banyak yu Jum di sana), beli batik di Batik Rumah (pricey but they're gorgeous so yeah), beli bakpia (ini semacam oleh-oleh wajib), ke Mirota (shopping fiasco cos everything is cheap til I got to cashier and suddenly the total is not so cheap), jalan di Malioboro (untung gue ngga pake lagu Yogyakarta - Kla Project), dan makan di Indische Koffie di benteng Vredeburg. Khusus Indische Koffie, gue akan cerita lebih dari sekedar kalimat dalam brackets. Ini restorannya menyenangkan yaa, remang-remang dan sepi. Gue sampai heran bisa-bisanya sepi padahal bagus. Suasananya jadul karena memang ada di bangunan tua, sampai lagu yang diputar pun lagu kroncong jadul. Makanannya juga lumayan enak. Waktu itu gue coba kopi rempah, uhh sayang gue lupa bahan-bahannya apa aja. Dan harganya murah, yah mungkin hitungannya mahal di Jogja tapi tetep aja murah. bagi gue yang terbiasa sama harga makanan di resto Jakarta. Defo my kind of resto <3

pulang ke kotamu..
biar remang tapi bahagia
Setelah makan, akhirnya gue berangkat ke airport. Kinda sad sih karena masih pengen kabur, tapi dipikir-pikir 2 hari cukup lah untuk WO. Sebelum gue terbawa suasana, mending gue kembali ke kenyataan. Gimana rasanya pergi sendirian? Tetap menyenangkan ko, apalagi driver gue sangat bisa diandalkan. Ramah, tau tempat-tempat menarik, sering ngajak ngobrol, dan sering fotoin selama jalan-jalan (ini semacam penting). Gue mau banget diantar si Bapak lagi kalau ke Jogja. Bahkan di antara semua pengalaman yang gue ceritakan di atas, yang paling berkesan justru percakapan simpel gue dengan beliau:
Driver (D): kenapa mba ke Jogja sendirian?
C: lagi pengen menyendiri pak
D: loh emangnya ada apa?
C: blablabla (I told my problem, yes my complete problem to a stranger) trus udah lama juga ngga ke Jogja
D: emang sebelum ini kapan ke Jogja?
C: dulu waktu dinas, tapi waktu itu blablabla (I told another story related to my problem)
D: oh, semoga nanti balik lagi ke Jogja dengan lebih bahagia ya. pokoknya harus lebih bahagia dari sekarang.

And I was smitten. Waktu itu gue cuma bisa bilang "amiiin" tapi setelah diingat, gue bener-bener terharu. Seorang asing mendoakan gue agar bisa kembali kesana dengan keadaan yang lebih bahagia. Sebenarnya bahagia bukan his exact words, itu parafrase dari kalimat lain yang kurang lebih artinya sama. But still, wasn't that beautiful? And whatever my problem is, it does get easier everyday, though litte by little. Apa yang gue rasakan saat itu, all those stress and hurt, memang membebani dan gue merasakan itu setiap hari, hari demi hari. Itu bagian yang sulit. Tapi it does get easier. I do believe, when time comes, my problem eventually will perish til only happiness left. And when that time comes, I will be back to Jogja, the city of joy, for sure :)

No comments: